Setelah sekian lama tidak menulis blog, hari ini saya menulis lagi ditengah Ujian Tengah Semester, laporan praktikum yang masih menumpuk. Tapi, tidak apa-apa juga. Toh, apa salahnya seorang Mahasiswa Biologi Semester empat belajar hal lainnya. Apa salahnya seorang Mahasiswi Biologi baca berita dan mengikuti perkembangan berita terkini. Kalau yang kita tahu cuma ilmu biologi, ilmuwan-ilmuwan seperti kita-kita ini gampang sekali lah ditipu. Kalau kita tidak belajar yang lainnya, pemerintah berbuat seenak sendiri sama ilmuwan juga kita tidak ada dasar buat mengkritik dan mengajukan pendpat.
bagaimana tanggapan kalian setelah melihat gambar headline diatas? tentu bikin emosi. Saya memang bukan mahasiswa ilmu sosial apalagi ilmu politik. Tapi, saya ingin berbagi keresahan saya tentang bagaimana cueknya pemerintah terhadap ilmuwan. Sikap acuh tak acuh pemerintah ini juga sangat kelihatan terutama saat pandemi COVID-19 ini. Lihat saja, saat masih ada satu kasus COVID-19 di Indonesia. Apa tanggapan pemerintah? Menteri Kesehatan kita malah santai saja. Sidak sendiri saat ada terduga COVID-19 di Gedung BRI. Saat ahli dari Harvard meneliti tentang kemungkinan tersebarnya COVID-19 di Indonesia, yang seharusnya sudah lima kasus tetapi masih tercatat nol kasus, Menkes masih santuy saja, malah bilang si Peneliti Harvard itu menghina Indonesia. dan guyonan-guyonan lain yang bilang "rakyat Indonesia kebal virus corona, "sakit apa aja obatnya teh anget sama tolak angin""orang Indonesia sudah biasa hidup kemproh jadi ga mungkin kena COVID-19" dan sentilan lainnya.
sampai tulisan ini dibuat, sudah ada 2.738 kasus COVID-19 di Indonesia dan pemerintah baru mengambil langkah nyata. PSBB di DKI Jakarta baru berlaku 10 April. Ya terlambat. Semuanya udah terlanjur mudik dan COVID-19 sudah menyebar ke daerah lain. Belum lagi, ramai pemotongan amggaran di sektor ini-itu termasuk anggaran riset dan anggaran dikbud yang harusnya dipakai untuk melaksanakan event-event besar dunia pendidikan (KSN, ONMIPA, PKM, dll). Padahal, para Ahli sudah menyarankan untuk memotong anggaran Infrastruktur terutama pemindahan Ibukota Indonesia yang saat krisis seperti ini menjadi kurang urgent. Riset unggulan Indonesia bisa berhenti kalau tidak ada anggaran
Nah. Sampai situ, masih merasa para ahli dan ilmuwan dihargai? Memang Jokowi sendiri lulusan UGM dan man of action. Sains dan teknologi diperhatikan.Tetapi, khusus Ilmu terapan saja. Karena Ilmu terapan dinilai lebih menguntungkan secara ekonomi dan sains murni kurang menguntungkan. Orang-orang yang ditunjuk pemerintah pusat untuk penanganan COVID-19 juga bukan ahli epidemiologi. Para Netizen juga tahu kalau Lord Luhoot ambil peran yang sangat besar di pandemi ini. Saat IDI menyerukan Lockdown, dan para ahli minta pengadaan alat PCR untuk deteksi SARS-CoV2, dicuekin juga. Korban sudah ribuan? Pemerintah juga masih berlandaskan pada pernyataan kalau SARS-CoV 2 kurang virulent (kurang ganas) di daerah tropis. Jurnal itu cherry-picking. Belum melalui peer review. Belum resmi publikasi. Buktinya berdasarkan sedikitnya kasus yang tercatat di negara tropis.Masalahnya di Indonesia, tesnya tidak semasif di Korea Selatan, malah untuk penurunan kasus di Indonesia, itu bukan karena kasusnya memang berkurang. Tetapi, tes yang dilakukan lebih sedikit daripada hari sebelumnya. Bukannya ini termasuk manipulasi data?
Bukan milik saya, dan sekarang saya percaya tulisan ini |
Berhubung saya manusia biasa yang tidak belajar ilmu sosial, kalau ada pendapat lain, saya terima.
Referensi :
Komentar
Posting Komentar